Istilah
farmasi klinik mulai muncul pada tahun 1960-an di Amerika, yaitu suatu disiplin
ilmu farmasi yang menekankan fungsi farmasis untuk memberikan asuhan
kefarmasian (pharmaceutical care) kepada pasien, bertujuan untuk
meningkatkan outcome pengobatan. Secara filosofis, tujuan farmasi klinik
adalah untuk memaksimalkan efek terapi, meminimalkan risiko, meminimalkan biaya
pengobatan, serta menghormati pilihan pasien. Saat ini, disiplin ilmu tersebut
semakin dibutuhkan dengan adanya paradigma baru tentang layanan kefarmasian
yang berorientasi pada pasien. Tenaga farmasi yang bekerja di rumah sakit dan
komunitas (apotek, puskesmas, klinik, balai pengobatan dan dimanapun terjadi
peresepan ataupun penggunaan obat), harus memiliki kompetensi yang dapat
mendukung pelayanan farmasi klinik yang berkualitas. Hal ini berdampak pada
perubahan kurikulum pendidikan farmasi di hampir semua negara termasuk Indonesia,
untuk menyesuaikan dengan kebutuhan akan kompetensi tersebut.
a.
Sejarah perkembangan farmasi klinik
Istilah
farmasi klinik pertama kali muncul di Amerika sekitar tahun 1960. Disiplin ilmu
ini muncul berawal dari ketidakpuasan masyarakat terhadap praktek pelayanan
kesehatan. Agar lebih jelas berikut ini diuraikan perkembangan profesi
kefarmasian yang telah mengalami beberapa kali perubahan, dibagi menjadi 3
periode yaitu:
1)
Periode tradisional (sebelum tahun 60- an)
Dalam
periode ini fungsi farmasis adalah menyediakan, membuat/meracik, dan mendistribusikan
produk berkhasiat obat. Tenaga farmasi sangat dibutuhkan di apotek sebagai
peracik obat. Periode ini mulai mulai goyah saat terjadi revolusi industri
dimana terjadi perkembangan pesat di bidang industri tidak terkecuali industri
farmasi. Ketika itu sediaan obat jadi dibuat oleh industri farmasi dalam jumlah
besar-besaran. Dengan beralihnya sebagian besar pembuatan obat oleh industri
maka fungsi dan tugas farmasis berubah. Dalam pelayanan resep dokter, farmasis
tidak lagi banyak berperan pada peracikan obat karena obat yang tertulis di
resep sudah bentuk obat jadi yang tinggal diserahkan kepada pasien. Dengan
demikian peran profesi kefarmasian makin menyempit.
2)
Tahap transisional ( 1960-1970 )
Pada
periode ini terjadi banyak perkembangan antara lain: ilmu kedokteran cenderung
semakin spesialistis serta ditemukannya obat-obat baru yang lebih efektif.
Seiring dengan semakin pesatnya jumlah obat, semakin meningkat pula
permasalahn yang timbul terkait penggunaan obat yaitu munculnya masalah kesehatan
akibat efek samping obat, interaksi antar obat, teratogenesis dll.
Selain itu biaya kesehatan semakin meningkat akibat penggunaan teknologi
canggih di bidang kesehatan yang sangat mahal, meningkatnya permintaan
pelayanan kesehatan secara kualitatif maupun kuantitatif, disertai dengan
semakin meningkatnya tuntutan masyarakat untuk pelayanan medis dan farmasi yang
bermutu tinggi. Kecenderungan tersebut mengakibatkan adanya suatu kebutuhan
yang meningkat terhadap tenaga profesional yang memiliki pengetahuan
komprehensif mengenai pengobatan yang tidak lain adalah farmasis (apoteker).
Akibat situasi tersebut akhirnya muncullah istilah pelayanan farmasi
klinik.
3)
Periode “Masa Kini” (dimulai tahun 1970)
Pada
periode ini mulai terjadi pergeseran paradigma yang semula pelayanan farmasi
berorientasi pada produk, beralih ke pelayanan farmasi yang berorientasi lebih
pada pasien. Farmasis ditekankan pada kemampuan memberian pelayanan pengobatan
rasional. Terjadi perubahan yang mencolok pada praktek kefarmasian khususnya di
rumah sakit, yaitu dengan ikut sertanya tenaga farmasi di bangsal dan terlibat
langsung dalam pengobatan pasien. Karakteristik pelayanan farmasi klinik di
rumah sakit adalah :
- Berorientasi kepada pasien
- Terlibat langsung di ruang perawatan di rumah sakit (bangsal)
- Bersifat pasif, dengan melakukan intervensi setelah pengobatan dimulai dan memberi informasi bila diperlukan
- Bersifat aktif, dengan memberi masukan kepada dokter sebelum pengobatan dimulai, atau menerbitkan buletin informasi obat atau pengobatan
- Bertanggung jawab atas semua saran atau tindakan yang dilakukan
- Menjadi mitra dan pendamping dokter.
Dalam
sistem pelayanan kesehatan pada konteks farmasi klinik, farmasis adalah ahli
pengobatan dalam terapi. Mereka bertugas melakukan evalusi pengobatan dan
memberikan rekomendasi pengobatan, baik kepada pasien maupun tenaga kesehatan
lain. Farmasis merupakan sumber utama informasi ilmiah terkait dengan
penggunaan obat yang aman, tepat dan cost effective.
b.
Farmasi Klinik di Indonesia
Di
Indonesia, praktek pelayanan farmasi klinik baru berkembang pada tahun 2000-
an, dimulai dengan adanya beberapa farmasis yang belajar farmasi klinik di
berbagai institusi pendidikan di luar negeri. Seperti halnya di luar negeri,
konsep pelayanan farmasi klinik tidak dengan mudah diterima oleh tenaga
kesehatan lain di rumah sakit. Masih dianggap ganjil jika farmasis yang semula
berfungsi menyiapkan obat di Instalasi Farmasi Rumah Sakit kemudian ikut masuk
ke bangsal perawatan dan memantau perkembangan pengobatan pasien. Apalagi bila
ikut memberikan rekomendasi pengobatan, seperti yang sekarang lazim dilakukan
di negara maju seperti Amerika, Australia, dan Inggris. Dari farmasis sendiri,
selama ini terkesan kurang yakin atau kurang percaya diri untuk bisa memainkan
peran dalam pengobatan. Hal ini kemungkinan besar disebabkan oleh sejarah
kurikulum pendidikan farmasi dengan muatan sains yang masih cukup besar
(sebelum tahun 2001), sementara pendidikan ke arah klinik masih sangat
terbatas, Hal ini menyebabkan farmasis merasa gamang bicara tentang penyakit
dan pengobatan.
Perkembangan
farmasi klinik di Indonesia mulai mendapat angin segar pada tahun 2001, ketika
terjadi restrukturisasi pada Departemen Kesehatan di mana waktu itu dibentuk
Direktorat Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, dengan Direktorat Bina
Farmasi Komunitas dan Klinik di bawahnya. Badan tersebut mengakomodasi
pekerjaan kefarmasian sebagai salah satu pelayanan kesehatan utama, tidak sekedar
sebagai penunjang. Peran dan fungsi tenaga farmasi pada praktek kefarmasian
semakin jelas dengan dikeluarkannya Undang-Undang Kesehatan No. 36 tahun 2009
sebagai pengganti UUK No. 23 tahun 1992, serta dikeluarkannya Peraturan
Pemerintah No. 51 tahun 2009 tentang pekerjaan kefarmasian.
0 Response to "FARMASI KLINIK"
Post a Comment